Jumat, 28 Maret 2014

Askep Batu Ginjal (Urolithiasis)

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Pengertian
Urolithiasis adalah batu atau kalkuli dibentuk dalam saluran kemih mulai dari ginjal ke kandung kemih oleh kristalisasi dari substansi ekskresi dalam urine (Nursalam, 2007, hal : 65).
Urolithiasis adalah suatu keadaan terbentuknya batu (calculus) pada ginjal dan saluran kemih. (Toto Suharyanto, 2009, hal : 150).
Urolithiasis atau nefrolithiasis adalah suatu keadaan terdapatnya batu (kalkuli) di ginjal. (Arif Muttaqin, 2011, hal : 108).

B.     Etiologi
1.      Idiopatik (tidak diketahui)
2.      Infeksi saluran kemih (ISK)
Infeksi oleh bakteri yang memecah ureum dan membentuk amonium akan mengubah pH urine menjadi alkali dan mengendapkan garam – garam fosfat. Batu struvite secara khas mengendap karena infeksi, khususnya oleh spesies Pseudomonas atau Proteus mikroorganisme pemecah ureum ini lebih di jumpai pada wanita.
3.      Imobilisasi
Imobilisasi menyebabkan kalsium terlepas kedalam darah dan tersaring oleh ginjal.


4.      Penyakit Gout
Produksi asam urat meningkat dalam urine yang  merubah pH urine menjadi asam sehingga kristal - kristal asam urat mengendap.
5.      Kurangnya asupan air putih
Dapat menurunkan konsentrasi substansi dalam urine dan mengendapkan kristal yang dapat membentuk batu.
6.      Obstruksi
Obstruksi pada aliran urin yang menimbulkan statis di dalam traktus urinarius
7.      Faktor eksogen
Lingkungan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral
8.      Faktor endogen
Genetik misal, hiperkalsiuria, hipersistinuria

C.    Patofisiologi
1.      Proses Perjalanan Penyakit
Tipe batu ginjal yang utama adalah kalsium oksalat dan kalsium fosfat yang menempati 75% hingga 80% dari semua kasus batu ginjal; batu struvite (magnesium, amonium, dan fosfat) 15%, dan asam urat 7%.  Batu sistin relatif jarang terjadi dan mewakili 1% dari semua batu ginjal. (Kowalak, 2003).
Menurut Suharyanto dan Madjid (2009), sebagian besar batu saluran kemih adalah idiopatik. Teori terbentuknya batu antara lain :
a.       Teori Inti Matriks
Terbentuknya batu saluran kemih memerlukan substansi organik sebagai inti. Substansi organik ini terutama terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein yang akan mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentuk batu.
b.      Teori Supersaturasi
Terjadinya kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c.       Teori Presipitasi – Kristalisasi
Perubahan pH urine mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Pada urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin, asam dan garam urat. Sedangkan pada urine yang bersifat alkali akan mengendap garam – garam oksalat.
d.      Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat, magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah pembentukan batu saluran kemih.
Urolithiasis atau kalkulus renal dapat terbentuk di mana saja di dalam traktus urinarius kendati paling sering ditemukan pada piala ginjal (pelvis renal) atau kalises. Urolithiasis memiliki ukuran yang beragam dan bisa soliter atau multiple.
Meskipun penyebab pastinya tidak diketahui (idiopatik), namun secara garis besar faktor predisposisinya adalah Infeksi saluran kemih (ISK), imobilisasi, penyakit Gout, kurangnya asupan air putih, dan adanya obstruksi di saluran kemih.
Infeksi saluran kemih (ISK) disebabkan adanya bakteri pseudomonas yang dapat memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi alkali dan mengendapkan garam – garam fosfat.
Imobilisasi membuat aktivitas otot menurun sehingga terjadi demineralisasi tulang. Kalsium terlepas kedalam darah dan tersaring oleh ginjal menimbulkan keadaan hiperkalsiuria. Hiperkalsuria dapat mengendapkan kristal – kristal kalsium dan membentuk batu.
Penyakit gout yaitu penyakit dengan peningkatan produksi asam urat. Produksi asam urat dalam urine pun meningkat dan pH urine berubah menjadi asam. pH yang asam mengakibatkan kristal – kristal asam urat mengendap dan membentuk batu.
Kurangnya asupan air putih dapat meningkatkan konsentrasi substansi dalam urine dan mengendapkan kristal yang dapat membentuk batu.
Obstruksi pada aliran urin yang menimbulkan statis di dalam traktus urinarius dan mempermudah timbulnya bakteri penyebab infeksi.
Terbentuknya batu di ginjal menyebabkan obstrusi pada ginjal yang akan menekan parenkim ginjal. Kolik renal biasanya timbul karena ginjal yang tertekan.
Ginjal yang mengalami penekanan akan mengakibatkan distensi pada abdomen. Di sisi lain penekanan ginjal dapat merusak renal yang menyebabkan nekrosis.
Jika batu turun ke ureter maka terjadi obstruksi pada ureter yang menyumbat lubang sambungan utero – pelvis yang menimbulkan nyeri atau biasa disebut kolik ureter. Sumbatan menyebabkan peningkatan frekuensi kontraksi peristaltik yang mengakibatkan trauma dan menimbulkan hematuria.
Obstruksi ureter juga menyebabkan keadaan stasis urine sehingga mikroorganisme berkembang dan terjadi infeksi.
Stasis urine menimbulkan rasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urine yang keluar, dan mengandung darah akibat aksi abrasif batu.
Stasis urine dapat mengalirkan aliran balik urine ke ginjal sehingga terjadi hidronefrosis yang dapat merusak renal dan menyebabkan nekrosis renal.
Penurunan GFR (Glomerulus Filtration Rate) juga terjadi akibat keadaan stasis urine yang bisa berakibat lanjut menyebabkan kegagalan ginjal (GGK).
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi dengan infeksi traktus urinarius. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih, akan terjadi retensi urine.
2.      Manifestasi Klinis
a.       Kolik renal atau ureter, tergantung dimana letak adanya batu. Apabila batu ada didalam pelvis ginjal, penyebab nyerinya aadalah hidronefrosis dan nyeri ini tidak tajam, tetap dirasakan di area sudut kostovertebra. Apabila batu turun kedalam ureter, pasien akan mengalami nyeri yang hebat, kolik, dan rasa seperti ditikam. Nyeri ini bersifat intermitten dan disebabkan oleh spasme (kejang) ureter dan anoksia dinding ureter yang ditekan batu. Nyeri ini menyebar ke area suprapubik, genitalia eksterna dan femur
b.      Nausea dan vomitus akibat adanya distesnsi abdomen karena penekanan ginjal
c.       Demam dan menggigil karena infeksi
d.      Hematuria, karena adanya abrasi pada ureter karena batu.
e.      Oliguria dan anuria, akibat adanya stasis urine.
3.      Komplikasi
a.       Nekrosis tekanan
b.      Obstruksi oleh batu
c.       Hidronefrosis
d.      Perdarahan
e.       Infeksi
f.       Kerusakan fungsi ginjal
g.      GGK

D.    Penatalaksanaan Medis
1.      Tujuan dasar penatalaksanaan adalah :
a.      Menghilangkan batu.
b.      Menentukan jenis batu.
c.      Mencegah kerusakan nefron
d.     Mengendalikan infeksi.
e.      Mengurangi obstruksi yang terjadi.
2.      Penatalaksanaan medis yang diberikan pada pasien Urolithiasis, berupa :
a.      Terapi Farmakologis
1)      Morfin dan meperiden yang dapat mencegah syok dan sinkop akibat nyeri yang luar biasa.
2)      Amonium klorida atau asam asetohidroksamik (Lithostat), dapat mengubah urin menjadi asam pada kasus urolithiasis karena batu kalsium.
3)      Allopurinol (Zyloprim) untuk mengurangi kadar asam urat serum dan ekskresi asam urat ke dalam urine, sehingga urine menjadi basa.
b.      Terapi Nutrisi
1)      Makanan yang harus dihindari adalah :
a)      Makanan yang kaya akan vitamin D, karena vitamin D meningkatkan reabsorbsi kalsium. Contoh makanan:
(1)   Produk susu : semua keju, susu ( > dari ½ cangkir sehari ), krim asam (yoghurt).
(2)   Daging, ikan, unggas : otak, jantung, hati, ginjal, sardin, sweetbread, telur ikan, kelinci, rusa.
(3)   Sayuran : lobak, bayam, buncis, seledri, kedelai.
(4)   Buah : kismis, semua jenis beri, anggur.
(5)   Roti, sereal : roti murni, roti gandum, catmeal, beras merah, jagung giling, sereal.
2)      Makanan yang harus dibatasi
a)      Garam meja dan makanan tinggi natrium, karena Na bersaing dengan Ca dalam reabsorbsinya di ginjal.
b)      Minuman : teh, coklat, minuman berkarbonat, bir.
c)      Lain – lain : kacang, sup yang dicampur susu, makanan pencuci mulut yang dicampur susu, seperti kue basah, kue kering dan pie.
3.      Terapi Penghancuran dan Pengangkatan Batu
a.       Lithotripsi gelombang kejut ekstrakorporeal / Extracorporeal Shock Wave Lithotripsi (ESWL)
Prosedur noninvasif yang digunakan untuk menghancurkan urolithiasis dengan cara amplitudo tekanan berenergi tinggi dari gelombang kejut sekitar 1000 – 3000 gelombang kejut, dan  dibangkitkan melalui suatu pelepasan energi yang kemudian disalurkan ke air dan  jaringan lunak, tekanan gelombang mengakibatkan permukaan batu pecah, dan akhirnya menyebabkan batu tersebut menjadi bagian – bagian yang lebih kecil.
b.      Nefrostomi perkutan dan nefrostop dimasukkan kedalam traktus perkutan yang sudah dilebarkan kedalam parenkim ginjal batu dapat diangkat dengan forcep atau jaring tergantung ukurannya, alat ultrasound dimasukkan melalui selang nefrostomi disertai pemakaian gelombang ultrasonik untuk mengjancurkan batu serpihan diigrasi dan dihisap keluar dari duktus kolektivus. Batu yang besar selanjutnya dapat dikurangi dengan disentegrasi ultrasonik dan diangkat dengan forcep atau jaring. Selang nefrostomi perkutan dibiarkan ditempatnya untuk menjamin bahwa ureter tidak mengalami obstruksi oleh edema dan bekuan darah. Komplikasi perdarahan, infeksi, dan ekstravasasi urine.
c.       Ureteroskopi, mencakup visualisasi dan akses ureter dengan memasukkan suatu alat ureteroskop dengan menggunakan laser, lithotripsihidraulik, atau ultrason kemudian diangkat. Suatu stent dapat dimasukkan dan dibiarkan selama 48 jam/lebih setelah prosedur untuk menjaga kepatenan ureter.
d.      Infus cairan kemolitik, misalnya agen pembuat basa (ankylating) dan pembuat asam (acidifyng) untuk melarutkan batu dapat dilakukan sebagai alternatif penanganan untuk pasien kurang beresiko terhadap terapi lain dan menolak metode lain.
e.       Pembedahan
Jika batu terletak di dalam ginjal, pembedahan dilakukan dengan nefrolitotomi (insisi pada ginjal untuk mengangkat batu) atau nefrektomi , jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Batu di dalam piala ginjal diangkat dengan pielolitotomi, sedangkan batu pada ureter diangkat dengan ureterolitotomi, dan batu pada kandung kemih diangkat dengan sistotomi.

E.     Pengkajian
Pengkajian mencakup pengumpulan informasi tentang gejala – gejala terakhir juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang jelas dari proses penyakit.
1.      Pengkajian pada pasien Urolithiasis, meliputi :
a.      Aktivitas/istirahat
Gejala : 
1)      Riwayat pekerjaan monoton, pekerjaan dimana pasien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi
2)      Keterbatasan aktifitas atau imobilisasi berhubungan dengan kondisi sebelumnya (contoh : penyakit tak sembuh, cedera medulla spinalis)
b.      Sirkulasi
Tanda : 
1)      Peningkatan TD/nadi (nyeri, ansietas, gagal ginjal)
2)      Kulit hangat dan kemerahan atau pucat
c.      Eliminasi
Gejala : 
1)      Riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalkulus)
2)      Penurunan haluaran urine, kandung kemih penuh
3)      Rasa terbakar, dorongan berkemih
4)      Diare
Tanda :
1)      Oliguria, hematuria, piuria
2)      Perubahan pola berkemih
d.     Makanan dan cairan
Gejala : 
1)      Mual/muntah, nyeri tekan abdomen
2)      Riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat
3)      Hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup
Tanda : 
1)      Distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus
2)      Muntah
e.      Nyeri dan kenyamanan
Gejala : 
1)      Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (urolithiasis menimbulkan nyeri dangkal konstan)
Tanda : 
1)      Perilaku berhati – hati, perilaku distraksi
2)      Nyeri tekan pada area ginjal yang sakit
f.       Keamanan
Gejala : 
1)      Penggunaan alkohol
2)      Demam/menggigil
g.      Penyuluhan/pembelajaran
Gejala :
1)      Riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis.
2)      Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme.
3)      Penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.
2.      Pemeriksaan Diagnostik
a.      Foto rontgen BNO untuk memperlihatkan sebagian besar urolithiasis.
b.      Urografi ekskretori untuk membantu memastikan diagnosis dan menentukan ukuran dan lokasi batu.
c.      USG ginjal untuk mendeteksi perubahan obstruksi seperti : hidronefrosis unilateral atau bilateral dan melihat batu radiolusen yang tidak tampak pada foto BNO.
d.     Kultur urine yang memperlihatkan piuria, yaitu tanda infeksi saluran kemih.
e.      Koleksi urine 24 jam untuk menentukan tingkat ekskresi kalsium oksalat, fosfor, dan asam dalam urine.
f.       Analisis batu untuk mengetahui kandungan mineral – mineralnya
g.      Pemeriksaan serial kadar kalsium dan fosfor untuk mendiagnosis hiperparatiroidisme dan peningkatan kalsium terhadap protein serum normal.
h.      Pemeriksaan kadar protein darah untuk menentukan kadar kalsium bebas yang tidak terikat dengan protein.



F.     Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang dijelaskan respon manusia dan status kesehatan atau resiko perubahan pola dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah.
Adapun diagnosa keperawatan pada pasien Urolithiasis meliputi :
1.      Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi ureteral, trauma jaringan sekunder terhadap urolithiasis.
2.      Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan iritasi ginjal/ureteral, obstruksi mekanik dan inflamasi.
3.      Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual/muntah dan diuresis pasca obstruksi.
4.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi, dan tidak mengenal sumber informasi.
Diagnosa Post OP Pyelolitotomi Urolithiasis meliputi:
1.      Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan
2.      Resiko infeksi berhubungan dengan Invasi kuman pada luka operasi
3.      Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan Interupsi mekanis pada kulit / jaringan. Perubahan sirkulasi, efek – efek yang ditimbulkan oleh medikasi; akumulasi drain; perubahan status metabolis.
4.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi, dan tidak mengenal sumber informasi.

G.    Intervensi Keperawatan
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, atau mengoreksi masalah – masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Secara tradisional, rencana keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan keperawatan pada pasien.
Berikut intervensi keperawatan pada Urolithiasis :
1.      Pre OP
a.       Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi ureteral, trauma jaringan sekunder terhadap urolithiasis.
Data Subyektif                  : Adanya nyeri
Data Obyektif                   : Rasa tidak enak di perut, ekspresi wajah
meringis, posisi menahan sakit, sulit tidur dan istirahat, dan berusaha mencari posisi untuk menghilangkan nyeri.
Tujuan                               : Nyeri berkurang atau hilang dan spasme
terkontrol
Kriteria hasil                      : Tampak rileks, mampu tidur/istirahat
dengan tepat
Intervensi :
1)      Catat lokasi, lamanya intensitas (skala 0 - 10) dan penyebaran. Peningkatan TD dan nadi, gelisah dan merintih.
R/ : Mengevaluasi tempat obstruksi, kemajuan gerakan kalkulus.
Nyeri tiba – tiba dapat mencetuskan ketakutan, gelisah dan ansietas berat.
2)      Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan ke perawat terhadap perubahan nyeri.
R/ : Memberikan kesempatan untuk pemberian analgesik sesuai
waktu. Penghentian nyeri secara tiba – tiba biasanya menunjukkan lewatnya batu
3)      Berikan tindakan nyaman seperti pijatan punggung, lingkungan untuk istirahat
R/ : Meningkatkan relaksasi, dan meningkatkan koping
4)      Bantu/dorong bernafas secara fokus
R/ : Mengarahkan kembali dan membantu relaksasi otot
5)      Bantu dengan ambulasi sering sesuai indikasi dan tingkatkan pemasukan cairan sedikitnya 3 – 4 L/hari.
R/ : Hidrasi kuat, memungkinkan lewatnya batu, mencegah statis
urine, dan membantu mencegah pembentukkan batu selanjutnya
6)      Pertahankan keluhan peningkatan/ menetapnya nyeri abdomen
R/ : Obstruksi lengkap ureter dapat menyebabkan perforasi dan
ekstravasasi urine kedalam area perirenal.
7)      Berikan obat sesuai indikasi
R/ : Menurunkan kolik uretral, meningkatkan relaksasi otot dan
menurunkan edema jaringan untuk membantu gerakan batu
8)      Berikan kompres hangat pada punggung
R/ : menghilangkan tegangan otot dan dapat menurunkan refleks
spasme.
9)      Pertahankan patensi kateter bila digunakan
R/ : Mencegah stasis urine, menurunkan resiko tekanan ginjal
meningkat dan infeksi.
b.      Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan iritasi ginjal/ureteral, obstruksi mekanik dan inflamasi.     
Data Subyektif      : Adanya kesulitan untuk berkemih   
Data Obyektif       : sakit saat brkemih, urine tidak lancar, hematuria
Tujuan
                   : Pola eliminasi urine normal
Kriteria Hasil         : Berkemih dengan jumlah normal dan pola biasanya,
tidak mengalami tanda obstruksi
Intervensi :
1)      Kaji pola berkemih, frekuensi, konsistensi, bau, volume, dan warna urine pasien
R/ : Mengetahui pengaruh iritasi kandung kemih dengan frekuensi
miksi
2)       Anjurkan pasien untuk minum sebanyak 2000 cc per hari
R/ : Membantu mempertahnkan fungsi ginjal, pemmberian air secara orberian air secara oral adalah pilihan terbaik untuk mendukung aliran darah renal dan untuk membilas bakterii dari traktus urinarius
3)      Anjurkan menghindari konsumsi minuman kopi, teh, soda, dan alcohol; awasi adanya distensi kandung kemih
R/ : Menurunkan iritasi dengan menghindari minuman yang bersifat
mengiritasi saluran kemih.
4)        Awasi adanya distensi kandung kemih
R/ : Retensi urin dapat menyebabkan distensi jaringan kandung
kemih/ginjal, potensial resiko infeksi, gagal ginjal
5)      Awasi pemeriksaan laboratorium seperti kultur urine, elektrolit, BUN, kreatinin.
R/ : Peningkatan BUN, kreatinin, dan elektrolit mengindikasikan
disfungsi ginjal.
6)      Berikan obat sesuai indikasi
R/ : terapi yang digunakan bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine, dan membebaskan obstruksi.
c.       Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual/muntah dan diuresis pasca obstruksi.
Data Subyektif      : Mual, muntah, haus.
Data Obyektif       : Demam, BB turun, membran mukosa kering, turgor
kulit kering.
Tujuan                   : Mempertahankan kesimbangan cairan adekuat
Kriteria Hasil         : Tanda vital stabil dan BB dalam rentang normal, nadi
perifer normal, membran mukosa lembab, dan turgor kulit baik.
Intervensi:
1)      Awasi pemasukan dan pengeluaran
R/ : Membandingkan keluaran aktual dan mengevaluasi derajat
kerusakan ginjal
2)      Catat frekuensi dan karakteristik muntah/diare, juga pencetus dan kejadian yang menyertai atau mencetuskan
R/ : Mual/muntah dan diare berhubungan dengan kolik ginjal karena
saraf ganglion seliaka pada kedua ginjal dan lambung
3)      Awasi tanda vital, evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
R/ : Indikator hidrasi/volume sirkulasi  dan kebutuhan intervensi
4)      Timbang BB tiap hari
R/ : Peningkatan BB yang cepat mungkin berhubungan dengan retensi
5)      Tingkatkan pemasukan cairan 3 – 4 L/hari dalam toleransi jantung
R/ : Mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostatis juga
tindakan “mencuci“ yang dapat membilas batu keluar, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit dapat terjadi sekunder terhadap kehilangan cairan berlebihan (muntah dan diare)
6)      Pemeriksaan lab seperti Hb/Ht, dan elektrolit
R/ : Mengkaji hidrasi dan keefektifan/kebutuhan intervensi
7)      Berikan cairan intravena
R/ : Mempertahankan volume sirkulasi, meningkatkan fungsi ginjal
8)      Berikan diet tepat, cairan jernih, makanan lembut sesuai toleransi.
R/ : Makanan mudah dicerna, menurunkan aktivitas GI atau iritasi dan
membantu untuk keseimbangan nutrisi
9)      Berikan obat sesuai indikasi, misalnya obat anti muntah6.    
R/ : Menurunkan mual – muntah
d.      Resiko infeksi berhubungan dengan stasis urine
Data Subyektif      : Melaporkan demam dan keadaan tubuh menggigil
Data Obyektif       : Demam, menggigil, sakit saat berkemih, mendadak,
dan frekuensinya sering
Tujuan                   : Tanda – tanda infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil          : Kultur dan sensitivitas urine untuk bakteri negatif
Intervensi              :
1)     Kaji suhu tubuh pasien setiap 4 jam dan lapor jika suhu di atas 38,5°C.
R/ : Mengidentifikasikan adanya infeksi
2)     Pantau karakteristik urine.
R/ : Mengindikasikan bahwa pengobatan saat ini tidak efektif
3)     Anjurkan pasien untuk minum 2 – 3 liter jika tidak ada kontra indikasi.
R/ : untuk meningkatkan pembilasan sistemik terhadap beberapa
bakteri (kecuali dianjurkan/diperintahkan untuk membatasi cairan)
4)     Monitor pemeriksaan ulang urine kultur dan sensivitas
R/ : Untuk menentukan respon terapi.
5)     Anjurkan pasien untuk mengosongkan kandung kemih secara komplit setiap kali kemih.
R/ : Mencegah distensi yang berlebihan dan menurunkan suplai darah
pada kandung kemih serta menghambat kesempatan bakteri untuk berkembang biak
6)     Berikan perawatan perineal, pertahankan agar tetap bersih dan kering
R/ : Untuk menghambat pertumbuhan bakteri           
e.       Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi, dan tidak mengenal sumber informasi.
Data Subyektif      : laporan akan ketidaktahuan mengenai cara
pencegahan batu ginjal
Data Obyektif       : Bertanya tentang cara mencegah penyakit
Tujuan                   : Proses penyakit/prognosis dan program terapi
dipahami
Kriteria Hasil         : Menyatakan pemahaman proses penyakit,
menghubungkan gejala dengan faktor penyebab, melakukan perubahan prilaku yang perlu dan berpartisipasi dalam program pengobatan. Intervensi :
1)      Kaji ulang proses penyakit dan harapan masa datang.
R/ : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat
pilihan berdasarkan informasi.
2)      Tekankan pentingnya peningkatan pemasukan cairan, contoh 3 – 4 L/hari. Dorong pasien untuk melaporkan mulut kering, diuresis, untuk meningkatkan pemasukan cairan baik bila haus atau tidak.
R/ : Pembilasan sistem ginjal menurunkan kesempatan stasis ginjal
dan pembentukan batu. Peningkatan kehilangan cairan atau dehidrasi memerlukan pemasukan tambahan dalam kebutuhan sehari – hari.
3)      Diet rendah purin, contoh daging berlemak, kalkun, tumbuhan polong, gandum, alkohol.
R/ : Menurunkan pemasukan oral terhadap prekusor asam urat.
4)      Diet rendah kalsium, contoh membatasi susu, keju, sayur, yoghurt.
R/ : Menurunkan resiko pembentukan kalsium.
5)      Diet rendah oksalat intake pembatasan coklat, minuman mengandung kafein, beat, bayam.
R/ : Menurunkan pembentukan batu kalsium oksalat.
6)      Diskusikan program obat – obatan, hindari obat yang dijual bebas dan membaca semua lebel produk/kandungan.
R/ : Obat – obatan diberikan untuk mengasamkan urine, tergantung
pada penyebab dasar pembentukkan batu.
7)      Mendengar dengan aktif tentang program terapi atau perubahan pola hidup.
R/ : Membantu pasien bekerja melalui perasaan dan meningkatkan
rasa kontrol terhadap apa yang terjadi.
8)      Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik. Contohnya nyeri berulang, hematuria, oliguria.
R/ : Dengan peningkatan kemungkinan berulangnya batu, intervensi
segera dapat mencegah komplikasi serius.
  1. Post OP
a.       Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan
Data Subyektif      : Laporan adanya nyeri pada luka operasi
Data Obyektif       : adanya luka operasi serta ekspresi wajah meringis dan
menahan sakit
Tujuan                   : nyeri berkurang/hilang atau teratasi
Kriteria hasil          : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau
dapat diatasi dengan skala nyeri 0-4, Pasien tidak gelisah.
Intervensi :
1)      Catat lokasi, lamanya intensitas (skala 0 - 10) dan penyebaran. Peningkatan TD dan nadi, gelisah dan merintih.
R/ : Mengevaluasi tempat obstruksi, kemajuan gerakan kalkulus.
Nyeri tiba – tiba dapat mencetuskan ketakutan, gelisah dan ansietas berat.
2)      Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan ke perawat terhadap perubahan nyeri.
R/ : Memberikan kesempatan untuk pemberian analgesik sesuai
waktu. Penghentian nyeri secara tiba – tiba biasanya menunjukkan lewatnya batu
3)      Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif
R/ : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
4)      Atur posisi fisiologi dan imobilisasi ekstrimitas yang mengalami insisi
R/ : Posisi fiologis akan meningkatkan asupan O2 ke jaringan yang
mengalami peradangan subkutan
5)      Istirahatkan pasien
R/ : Istirahat diperlukan selama fase akut. Disini akan meningkatkan
suplai darah pada jaringan yang mengalami peradangan.
6)      Manajemen lingkungan: lingkungan tenang dan batasi pengunjung
R/ : Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal
dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada diruangan.
7)      Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi pernafasan dalam
R/ : Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurukan nyeri
sekunder dari peradangan. Distraksi ( pengalihan perhatian ) dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorphin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimka ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.
8)      Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik
R/ : Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri kan berkurang
b.      Resiko infeksi berhubungan dengan Invasi kuman pada luka operasi
Data Subyektif      : status pembedahan
Data Obyektif       : imobilitas, terpasang drain/kateter, dan terdapat luka operasi
Tujuan                   : Tidak adanya tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi
Kriteria Hasil         : Meningkatkan waktu penyembuhan dengan tepat,
bebas dari drainase    purulen atau eritema, dan tidak demam
Intervensi :
1)      Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi, dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi.
R/: Pasien beresiko untuk syok bedah/septik sehubungan dengan
manipulasi/instrumentasi
2)      Observasi drainase dari luka
R/ : Adanya drain meningkatkan resiko infeksi, yang diindikasikan
dengan adanya eritema, drainase purulen
3)      Ganti balutan dengan sering dengan teknik aseptik
R/ : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media
untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.
4)      Berikan antibiotik sesuai indikasi
R/ : Mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan
peningkatan resiko infeksi
c.       Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan Interupsi mekanis pada kulit / jaringan. Perubahan sirkulasi, efek – efek yang ditimbulkan oleh medikasi; akumulasi drain; perubahan status metabolis
Data Subyektif      : Status pembedahan
Data Obyektif       : adanya luka operasi
Tujuan                   : Gangguan pada permukaan / lapisan kulit dan
jaringan tidak ditemukan
Kriteria Hasil         : Mencapai penyembuhan luka.
Intervensi :
1)      Beri penguatan pada balutan awal / penggantian sesuai indikasi. Gunakan teknik aseptik yang ketat.
R/: Lindungi luka dan perlukaan mekanis dan kontaminasi. Mencegah
akumulasi cairan yang dapat menyebabkan ekskoriasi.
2)      Secara hati – hati lepaskan perekat (sesuai arah pertumbuhan rambut) dan pembalut pada waktu mengganti.
R/: Mengurangi risiko trauma kulit dan gangguan pada luka.
3)      Gunakan sealant / barrier kulit sebelum perekat jika diperlukan. Gunakan perekat yang halus / silk (hipoalergik atau perekat Montgoumery / elastic untuk membalut luka yang membutuhkan pergantian balutan yang sering.
R/: Menurunkan risiko terjadinya trauma kulit atau abrasi dan
memberikan perlindungan tambahan untuk kulit atau jaringan yang halus.
4)      Periksa tegangan balutan. Beri perekat pada pusat insisi menuju ke tepi luar dari balutan luka. Hindari menutup pada seluruh ekstremitas.
R/: Dapat mengganggu atau membendung sirkulasi pada luka
sekaligus bagian distal dari ekstermitas.
5)      Periksa luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit.
R/: Pengenalan akan adanya kegagalan proses penyembuhan luka
berkembangnya komplikasi secara dini dapat mencegah terjadinya kondisi yang lebih serius.
6)      Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka.
R/: Menurunnya cairan menandakan adanya evolusi dari proses
penyembuhan, apabila pengeluaran cairan terus – menerus atau adanya eksudat yang bau menunjukkan terjadinya komplikasi (misalnya pembentukan fistula, perdarahan, infeksi)
7)      Ingatkan pasien untuk tidak menyentuh daerah luka.
R/: Mencegah kontaminasi luka.
8)      Biarkan terjadi kontak antara luka dengan udara sesegera mungkin atau tutup dengan kain kasa tipis / bantalan Telfa sesuai kebutuhan.
R/: Membantu mengeringkan luka dan memfasilitasi proses
penyembuhan luka. Pemberian cahaya mungkin diperlukan untuk mencegah iritasi bila tepi luka / sutura bergesekkan dengan pakaian linen.
9)      Bersihkan permukaan kulit dengan menggunakan hidrogen peroksida atau dengan air yang mengalir dan sabun lunak setelah daerah insisi ditutup.
R/: Menurunkan kontaminasi kulit; membantu dalam membersihkan
eksudat.
d.      Kurang pengetahuan (kebutuhuan belajar) tentang kondisi / situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan
Data Subyektif      : laporan akan ketidaktahuan mengenai cara perawatan
pasca operasi
Data Obyektif       : Bertanya tentang cara perawatan pasca operasi
Tujuan                   : Menuturkan pemahaman kondisi, efek prosedur dan
pengobatan.
Kriteria Hasil         : menunjukkan prosedur yang diperlukan dan
menjelaskan alasan suatu tindakan. Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam program perawatan.
Intervensi:
1)      Tinjau ulang pembedahan /  prosedur khusus yang dilakukan dan harapan masa datang.
R/: Sediakan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat
pilihan.
2)      Tinjau ulang dan minta pasien / orang terdekat untuk menunjukkan perawatan luka / balutan jika diindikasikan. Identifikasi sumber – sumber untuk persediaan.
R/: Meningkatkan kompetensi perawatan diri dan menigkatkan
kemandirian.
3)      Tinjau ulang penghindaran faktor – faktor risiko, misalnya pemajanan paa lingkungan / orang yang terinfeksi.
R/: Mengurangi potensial untuk infeksi yang diperoleh
4)      Diskusikan terapi obat – obatan, meliputi penggunaan resep dan analgesik yang dijual bebas.
R/: Meningkatkan kerja sama dengan regimen; mengurangi risiko
reaksi merugikan / efek – efek yang tidak menguntungkan.
5)      Identifikasi keterbatasan aktifitas khusus.
R/: Mencegah regangan yang tidak diinginkan di lokasi operasi.
6)      Rekomendasikan rencana / latihan progresif.
R/:  Meningkatkan pengembalian ke fungsi normal dan meningkatkan
perasaan sehat.
7)      Jadwalkan periode istirahat adekuat.
R/: Mencegah kepenatan dan mengumpulkan energi untuk
kesembuhan.
8)      Ulangi pentingnya diet nutrisi dan pemasukan cairan adekuat.
R/: Sediakan elemen yang dibutuhkan untuk regenerasi
penyembuhan jaringan dan mendukung perfusi jaringan dan fungsi organ.
9)      Dorong penghentian merokok.
R/: Meningkatkan risiko infeksi pulmonal. Menyebabkan
vasokonstriksi dan mengurangi kapasitas penjepitan oksigen olah darah, yang mengakibatkan perfusi selular dan potensional penyimpangan penyembuhan.
10)  Tekankan pentingnya kunjungan lanjutan.
R/: Memantau perkembangan penyembuhan dan mengevaluasi
keefektifan regimen.

H.    Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Tujuan pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.
Pendekatan tindakan keperawatan meliputi :
1.             Independen
Adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
2.             Interdependen
Adalah tindakan keperawatan yang menjelaskan suatu kegiatan yang memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya misalnya tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi dan dokter.
3.             Dependen
Adalah tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis.



I.       Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Ada dua komponen untuk mengevaluasi tindakan keperawatan yaitu :
1.             Evaluasi formatif (Proses)
Fokus tipe evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan, tindakan keperawatan. Evaluasi proses kasus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk membantu keefektifan terhadap tindakan. Evaluasi ini berupa respon klien setelah pelaksanaan tindakan keperawatan.
2.             Evaluasi sumatif (Hasil)
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir tindakan perawatan klien. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan. Sistem penulisan ada tahap evaluasi ini bisa menggunakan sistem “SOAP” atau model komponen lainnya.